Bali memiliki banyak berbagai warisan budaya leluhur yang masih tertanam dan melekat erat di masyarakat Bali itu sendiri, juga berbagai tradisi unik yang masih dipegang teguh di kalangan masyarakat. Budaya dan tradisiyang ada memiliki ciri khas tersendiri di masing daerah, desa maupun banjar yang ada di Bali. Memiliki kekayaan budaya yang beragam tentunya merupakan suatu tugas masyarakat untuk melestarikannya, tidak tergilas atau bergeser karena pengaruh dunia modern saat ini.
Unsur-unsur Budaya yang di miliki Bali adalah; musik seperti berbentuk gamelan, rindik, jegog dan genggong,seni tari seperti tari barong, tari kecak, pendet, gambuh, joged dan banyak lagi yang lainnya, bali juga memiliki bahasa dan pakaian adat daerah sendiri dan dari segi religi mayoritas penduduknya beragama hindu.
Budaya dan tradisi yang unik ini , membuat salah satu penyebab bali menjadi daerah tujuan wisata, berikut beberapa budaya dan tradisi unik yang masih dijaga kelestariannya:
Ngaben
Ngaben adalah upacara Pitra Yadnya, rangkain upacara Ngaben salah satunya prosesi pembakaran mayat yang bertujuan untuk menyucikan roh leluhur orang sudah meninggal. Tradisi ini masih dilakukan secara turun-temurun oleh hampir semua masyarakat Hindhu di Bali. Menurut Agama Hindhu terutama di Bali, tubuh manusia terdiri dari badan halus dan badan kasar juga karma. Badan kasar terdiri dari 5 unsur yaitu zat padat, cair, panas, angin dan ruang hampa, lima elemen ini disebut Panca Maha Bhuta, pada saat meninggal lima elemen ini akan menyatu kembali ke asalnya, dan badan halus yang berupa roh yang meninggalkan badan kasar akan disucikan pada saat upacara Ngaben. Dan karma/ hasil perbuatan yang dilakukan selama hidup, akan selalu melekat dan akan berpengaruh kepada kehidupan selanjutnya dan saat reinkarnasi. Kata Ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal dan ngabu yang berarti abu, untuk membuat sesuatu menjadi abu diperlukan api, dan dalam ajaran agama Hindhu yang mempunyai kekuatan sebagai dewa Api adalah Brahma. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal. upacara ngaben dianggap sebagai simbolis pengantar atma/ jiwa ke alam pitra atau baka. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang slalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben, proses ini merupakan prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben. Upacara ngaben dilaksanakan beberapa hari setelah orang tersebut meninggal, upacara ini bisa dilakukan secara perorangan, sesama satu keluarga besar, satu banjar ataupun satu desa ini sesuai dengan tingkat kemampuan ekonomi seseorang, adat dan tradisi desa setempat di mana orang tersebut meninggal, sehingga tubuh orang yang meninggal harus dikubur terkebih dahulu menunggu beberapa tahun berikutnya dan menentukan hari baik yang telah ditentukan oleh Pendeta yang akan memimpin upacara,.Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Megibung
Megibung, adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh nilai kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran, bersenda gurau, bahkan bisa saling mengenal atau lebih mempererat persahabatan sesama warga. Makan bersama atau megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 5-8 orang, memang merupakan wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan juga perbedaan kasta ataupun warn, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalu masih dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.Tradisi ini masih tertanam kuat di daerah Karangasem Bali. Tradisi megibung ini dikenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika pada saat itu, Karangasem dalam ekspedisinya menaklukkan Raja-raja yang ada di tanah Lombok. Ketika istirahat dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung. Bahkan, raja sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya.
Megibung dimulai dari masak masakan khas traditional Bali secara bersama-sama, baik itu nasi maupun lauknya. Setelah selesai memasak, warga kemudian menyiapkan makanan itu untuk disantap. Nasi putih diletakkan dalam satu wadah yang disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayur yang akan disantap disebut karangan. Tradisi megibung ini dilangsungkan saat ada Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat, terutama di daerah Karangasem, misalnya dalam Upacara yadnya seperti pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan hajatan lainnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Ada beberapa etika yang perlu diperhatikan saat acara megibung, sebelum makan kita harus cuci tangan terlebuh dahulu, tidak menjatuhkan remah/ sisa makanan dari suapan , tidak mengambil makanan disebelah kita, jika salah satu sudah merasa puas dan kenyang dilarang meninggalkan temannya, walaupun aturan ini tidak tertulis tapi masih diikuti peserta makan megibung.
Subak
Istilah subak hanya dikenal di Bali, yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan oleh para petani Bali dalam bercocok tanam padi. Istilah ini sudah mulai dikenal dikalangan turis lokal maupun mancanegara, walaupun dalam kunjungannya ke objek wisata, kebanyakan dari mereka hanya mengagumi pemandangan alam dengan hamparan persawahan yang berundak (rice terrace) melihat petani saat panen, jarang mengetahui secara detail, bagaimana proses pembibitan, proses pembajakan, saat mulai bercocok tanam, sistem pengairannya, prosesi upacara keagamaan di Pura Ulun Carik / Bedugul, sampai akhirnya mereka panen.
Jadi hal lainnya yang menarik saat melihat panorama yang indah persawahan, juga wisata subak yang memiliki nilai budaya yang luhur. Karena hal yang menarik saat melihat hamparan persawahan, bukan sekedar pemandangan sawah berundak yang indah dan menarik, tetapi bagaimana masyakarat Bali dalam menjalani hidup bertani, ini akan menjadi pengalaman yang menarik mengenai nilai historis yang ada dibalik panorama yang indah. Subak adalah sebuah organisasi tradisonal masyarakat Bali yang merupakan warisan budaya leluhur yang perlu dilestarikan, dengan perkembangan tekhnologi yang semakin canggih, agar subak ini tidak kehilangan roh dan identitasnya.
Untuk wisatawan yang liburan di Bali, anda dapat menemukan wisata subak ini di Desa Soka, kecamatan Selemadeg, Tabanan. Kemudian di desa Jatiluwih kecamatan Penebel, Tabanan. Kabupaten Tabanan memiliki jumlah subak paling banyak dibandingkan dengan kabupaten lainnya, memiliki lahan sawah yang paling luas di Bali, sehingga dijuluki Lumbung Beras pulau Bali, sehingga di Tabanan didirikan museum Subak berlokasi di desa Sanggulan, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 20 Km dari arah barat kota Denpasar.
Memang subak memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukkan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat di Bali, sehingga kemudian pada tanggal 29 Juni 2012, Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Budaya (UNESCO) di St.Petersburg, Rusia pada sidang ke-36 mengesahkan budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia (World Heritage).
Gebug Ende
Gebug berarti memukul dengan sekuat tenaga dengan tongkat rotan (penyalin) sepanjang 1,5 – 2 meter dan Ende berarti tameng yang digunakan untuk menangkis pukulan. Gebug Ende ini ada unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan dengan ketangkasan para penarinya memainkan tongkat dan tameng, dimana saat atraksi ini dilakukan, diiringi dengan iringan musik gamelan, yang memacu semangat para penari untuk saling memukul, menhindar dan menangkis. Desa Seraya terletak sekitar 15 km dari objek wisata Candidasa, atau sekitar 2,5 jam perjalanan dengan kendaraan dari bandara Ngurah Rai.
Saat Gebug Ende berlangsung bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan saja, tapi ada nilai-nilai sakralnya yang dikeramatkan penduduk setempat, tarian Gebug merupakan kesenian klasik yang digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan, ritual ini yang diyakini dapat menurunkan hujan, dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin. Sebelum Gebug Ende berlangsung terlebih dahulu diadakan ritual dengan banten atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah siap dua pemain yang dilakukan oleh anak-anak maupun lelaki dewasa, dengan pakaian adat Bali tanpa memakai baju, akan saling serang yang dipimpin oleh wasit (saye), antara dua penari di tengah-tengah di batasi oleh tongkat rotan. Sebelumnya wasit memberi petunjuk dan ketentuan daerah mana saja yang bisa diserang.
Tradisi Gebug Ende merupakan warisan budaya leluhur yang memang diyakini dapat menurunkan hujan. Menurut kepercayaan setempat, hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Semakin banyak maka akan semakin cepat hujan akan turun. Tidak ada waktu tertentu dalam permainan tersebut. Yang jelas permainan akan berakhir bila salah satu permainan telah terdesak. Tidak ada kata dendam setelah itu. Tradis ini memang sudah cukup terkenal, kalau anda mau wisata di Bali dan ingin menyaksikannya anda coba berkunjung ke daerah karangasem, belahan Timur pulau Bali.
Mekare – kare atau Perang Pandan
Salah satu desa Bali Aga yang masih mempertahankan pola hidup secara tradisional ada di kabupaten paling Timur pulau Bali, yaitu Karangasem, memiliki tradisi dan prosesi unik perang pandan yang juga dikenal dengan nama mekare-kare atau mageret pandan. Tradisi ini dirayakan di Desa Tenganan Dauh Tukad, lokasinya sekitar 10 km dari objek wisata Candidasa, 78 km dari Kota Denpasar, bisa ditempuh sekitar 90 menit dengankendaraan bermotor ke arah timur laut dari Ibu Kota Bali.Sebelum prosesi perang pandan dimulai, warga Tenganan melakukan ritual berkeliling desa.
Selain tradisi unik perang pandan yang merupakan warisan budaya leluhur, Desa Tenganan mempunyai hasil karya seni yang sangat cantik dan indah yaitu kain tenun gringsing yang proses pembuatanya sangat rumit, dibuat dengan memakan waktu yang cukup lama dan warna alami dari tumbuhan. Memang Tenganan sampai sekarang masih mempertahankan tradisi-tradisi yang diwariskan, seperti tata cara kawin harus sesama warga setempat, besar, bentuk dan letak bangunan serta pekarangan, juga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan, sehingga Tenganan akan mejadi objek untuk pengembangandesa wisata.
Prosesi perang pandan atau mekare-kare di Tenganan merupakan upacara persembahan untuk menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan sewenag-wenang, yang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Keyakinan beragama di Tenganan berbeda dengan Agama Hindhu lainnya di bali, tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa Perang dan dewa dari segala Dewa. Untuk menhormati Dewa Indra mereka melakukan upacara perang Pandan.
Upacara perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada yang dipakai berperang, perang berhadapan satu lawan satu dan diikuti oleh para lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan dirayakan pada bulan ke 5 kalender bali, selama 2 hari, setiap pertarungan berjalan singkat sekitar 1 menit dilakukan bergilir selama 3 jam, walaupun akhirnya mereka sampai mengeluarkan darah karena tertancap duri pandan, setelah perang usai mereka bersama-sama membantu satu dan lainnya mencabuti duri pandan dan meberi obat berupa daun sirih dan kunyit, sama sekali tidak meninggalkan kesan permusuhan.
Omed – Omedan
Tradisi omed-omedan ataupun med-medan yang berarti tarik-menarik dalam bahasa Indonesia, ini diikuti oleh pemuda dan pemudi yang belum menikah, berumur antara 17-30 tahun, med-medan atau tarik-menarik diikuti adegan berciuman antara satu pemuda dan pemudi.Tradisi ini memang tergolong sangat unik dan membuat kita penasaran, prosesi ini hanya dirayakan sehari setelah upacara Nyepi atau pada hari Ngembak Geni, tanggal 1 pada tahun Baru Caka kalender Bali. Tradisi unik ini dirayakan di desa Sesetan, Denpasar Selatan, Denpasar. Prosesi omed-omedan ini di mulai dari acara persembahyangan bersama, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok pemuda dan pemudi yang saling berhadapan, saling tarik-menarik, berpelukan dan berciuman ditonton oleh ribuan warga, bagi yang tidak berhasil mencium pasangannya dihadiahi siraman air sehingga menambah keriuhan suasana. Jika anda sedang wisata ataupun liburan ke Bali, coba saja saksikan tradisi unik ini, hanya sekitar 15 menit dengan kendaraan dari bandara.
Sesuatu yang unik tentunya ada kisah yang melatarbelakanginya. Konon pada saat itu, ada sebuah kerajaan kecil di wilayah Denpasar Selatan, namanya Puri Oka, digelar permainan med-medan atau terik menarik antara pemuda dan pemudi, karena saking gembira dan serunya permainan, acara tarik menarik berubah menjadi rangkul merangkul, sehingga situasi menjadi gaduh. Raja yang kala itu sakit mendengar kebisingan ini menjadi marah, dengan kondisi yang lemah raja keluar melihat warganya,namun melihat adegan seperti ini, amarah raja hilang dan sakitnya hilang dan pulih seperti sedia kala, maka dari itu raja mengeluarkan titah, agar upacara ini dilaksanakan setiap tahunnya yaitu pada hari ngembak geni.
Di tengah kehidupan Kota Denpasar yang sudah modern, tradisi unik warisan leluhur ini yang diwariskan sekitar tahun 1900-an masih juga dirayakan sampai sekarang ini. Sesuai dengan adat Timur yang masih memegang etika, tentunya tidak semua masyarakat Bali bahkan warga Sesetan yang setuju dengan tradisi ini, tradisi ini pernah dihentikan, namun Namun, tak lama kemudian, terjadi perkelahian 2 ekor babi di pelataran Pura, yang amat seru dan anehnya keduanya menghilang begitu saja di tengah perkelahian.Oleh warga setempat, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, omed-medan pun kembali dilangsungkan.
Mekotek
Gerebek Mekotek atau lebih dikenal dengan Mekotek merupakan salah satu tradisi di Bali yang hanya ada di desa Munggu, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasinya tidak begitu jauh dari objek wisata Tanah Lot.Perayaannya tepat pada Hari Raya Kuningan atau 10 hari setelah Hari Raya Galunagn. Pelaksanaan upacaraMekotek pada walnya diselenggarakan untuk menyambut armada perang kerajaan Mengwi yang melintas di daerah Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga dirayakan untuk menyambut pasukan saat mendapat kemenangan perang dengan kerajaan Blambangan di Pulau Jawa. Dulu pada jaman kolonial Belanda tradisi ini pernah ditiadakan, tapi kemudian terjadi bencana, tiba-tiba 11 orang meninggal di kalangan warga Munggu, kemudian melalui perundingan yang alot dengan pihak kolonial, perayaan ini bisa kembali dirayakan sampai sekarang ini.
Perayaan mekotek ini dulunya menggunakan tombak dari besi, yang memberikan semangat pasukan ke atau dari medan perang, namun seiring perubahan waktu dan untuk menghindari peserta terluka, maka tombak diganti dengan tongkat dari pulet yang sudah dikuliti yang panjangnya sekitar 2 – 3.5 meter. Perayaan di Hari raya Kuningan, peserta berpakaian pakaian adat madya, berkumpul di Pura Dalem Munggu, hampir seluruh warga yang terdiri 15 banjar dari umur 12 – 60 tahun ikut merayakannya. Kemudian tongkat kayu diadu sehingga menimbulkan bunyi “tek tek” di kimpulkan sehingga membentuk sebuah kerucut/ piramid, bagi yang punya nyali ataupun yang mungkin punya kaul naik kepuncuk kumpulan tongkat kayu dan berdiri diatasnya seperti komando yang memberikan semangat bagi pasukannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok yang lain, membentuk tongkat seperti kerucut dan nantinya akan dipertemukan antara satu dengan yang lainnya. Komando yang berdiri diatas kumpulan tongkat akan memebri komando layaknya panglima perang dan menabrakkanya dengan kelompok lain, dengan diiring sebuah gamelan sehingga memacu semangat peserta upacara. Walupun sedikit membahayakan tepi memang cukup menyenangkan, tidak jarang yang terjatuh tidak bisa sampai puncak, tapi semua gembira, senang, tidak ada amarah, inti lain yang dapat dipetik dari tradisi Grebek Mekotek atau perang kayu, perang tak selalu menyebabkan permusuhan dan korban jiwa.
Pemakaman di Trunyan
Keunikan tradisi pemakaman mayat di Desa Trunyan sampai sekarang ini masih mejadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh warga setempat. Prosesi orang meninggal di Bali, biasanya dikubur ataupun dibakar. Tapi kalau di desa Trunyan tidak seperti itu, tubuh orang yang sudah meninggal melalui sebuah prosesi dan akhirnya dibungkus dengan kain kapan, dan selanjutnya ditaruh di atas tanah di bawah taru menyan, dikelilingi anyaman dari pohon bambu atau yang disebut ancak saji. Unik bukan…yang cukup aneh juga mayat tidak mengeluarkan bau sedikitpun. jadi kalu kebetulan anda wisata ke Bali dan mengunjungi tempat ini tidak perlu takut dengan bau yang menyengat, karena mungkin bau tersebut sudah diserap oleh Taru/ pohon Menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman. Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur.
Jika anda melakukan perjalan tour ataupun wisata keliling Bali, kalau dari Denpasar berjarak sekitar 65 km atau sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan. Sebelum sampai di Desa Trunyan, anda akan ketemu beberapa tempat-tempat menarik yang mungkin bisa anda kunjungi, seperti Ubud, Goa gajah, tampaksiring dan penelokan kintamani tempat menyaksikan keindahan panorama Danau Batur. Dari penelokan anda turun menuju tepi danau batur tepatnya di Desa Kedisan, di sini dibangun dermaga yang diperuntukkan untuk penyebrangan menuju Desa Trunyan. Anda bisa menyewa boat, satu buah boat muat sekitar 7 penumpang, berwisata mengelilingi danau Batur yang indah, kemudian melanjutkan penyebrangan mengunjungi Desa Trunyan.
Trunyan sendiri diambil dari kata Taru dan Menyan, taru artinya pohon dan menyan artinya harum, sehingga pohon yang berbau harum diyakini dapat menyerap bau, sehingga mayat tidak mengeluarkan bau. Konon karena perintah raja, khawatir dengan pohon menyan yang baunya harum dan menyengat hidung, membuat banyak orang yang akan mencarinya, nah untuk menghindari hal ini, maka di bawah pohon ditaruh jenazah-jenazah yang diharapkan mengeluarkan bau busuk, jenazah yang diharapkan akan mengeluarkan bau busuk ternyata tidak mengeluarkan bau sama sekali dan taru menyanpun tidak mengeluarkan bau harum lagi. Dan tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Tapi tidak semua jenazah di biarkan di alam terbuka di bawah taru menyan, tempat ini hanya diperuntukkan bagi yang meninggal sudah dewasa, meninggal secara normal dan tidak cacat, untuk jenazah bayi di kubur seperti biasanya di Sema Muda dan jenazah yang cacat, meninggal karena tidak normal karena bunuh diri, dibunuh, kecelakaan dikuburkan di Sema bantas.
Perang Ketupat
Satu lagi tradisi unik di Bali yaitu Perang Ketupat yang dirayakan satu tahun sekali di desa Kapal, Kabupaten Badung. Tujuan diadakan prosesi ini sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen dan untuk doa keselamatan dan memohon kesejahteraan bagi umat manusia. Lama prosesi perang ketupat atau Aci Rah Penganngon ini sekitar 30 menit di jalan raya, sehingga arus lalu lintas sementara dalam waktui 30 menit ditutup, upacara diikuti oleh warga desa kapal. Tradisi ini memnag unik sehingga banyak disaksikan wisatawan.
Ada tradisi yang sama mengenai perang ketupat ini di wilayah Indonesia di luar pulau Bali. Tradisi perang ketupat ini dirayakan di Tempilang, Bangka Barat, Bangka Belitung, tujuan dari tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat. Tujuannya berbeda dengan yang di Bali, warisan budaya leluhur ini memang masih dirayakan secara turun-temurun. Tradisi di Bali ini menjadi tontonan unik bagi para pelancong yang kebetulan dalan perjalanan wisata tour.
Sebelum prosesi ini digelar, peserta yang hanya melibatkan kaum pria ini melakukan persembahyangan bersama. Seperti namanya perang ketupat, tentu peluru yang digunakan adalah sebuah ketupat, yang dikumpulkan dari warga kapal, dan warga dipisah menjadi 2 kelompok yang nantinya saling serang dengan ketupat, saat perang dimulai semua saling serang satu-sama lainnya. Dan setelah perang ketupat usai, mereka saling berjabat tangan, bercerita satu sama yang lain, tidak ada permusuhan diantara mereka, hanya berupa ungkapan syukur atas karunia yang mereka peroleh.
Ngusaba Bukakak
Upacara Bukakak, salah satu budaya dan tradisi unik yang hanya ada di Bali Utara, tepatnya di desa Adat Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng. Begitu banyaknya budaya warisa leluhur yang masih terjaga dengan baik di Bali. Tujuan dari Upacara Bukakak ini untuk melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan agar diberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian mereka supaya hasil panennya berlimpah ruah. Tradisi ini hanya dilakukan di daerah Singaraja, jika kebetulan anda sedang wisata di Bali dan melakukan perjalanan tour ke daerah Bali Utara seperti Lovina anda bisa menyaksikan prosesi upacara ini pada bulan April kalender Jawa atau bulan punama sasih kedasa menurut kalender Bali.
Pengertian bukakak adalah babi guling yang dibikin matang hanya bagian dada saja, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara ini dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala biaya, akhirnya upacara ini dilakukan setiap 2 tahun sekali.Prosesi ini mengarak bukakak dengan segala perlengkapan upacaranya diiringi dengan gamelan Tik Nong, yang diyakini tempat berstana dewi kesuburan, perjalanan arak-arakan ini lumayan jauh, mengelilingi persawahan, dan kemudian menuju sebuah Pura desa tempat berstana Dewi Sri/ dewi kesuburan. Pengusung bukakak sendiri dibagi menjadi 2 kelompok, untuk pengusung bukakak harus sudah dewasa/ menikah dan pengusung sarat alit para remaja.
Keanehan muncul saat upacara bukakak berlangsung, setelah diperciki air suci para pengusung bukakak seperti dirasuki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia normal, para pengusung buakakak ini mengaum, sepertinya kemasukan roh dan tidak lazim.
Persiapan yang dilakukan dalam upacara Ngusaba Bukakak ini,
- Pembersihan upacara perlengkapan
- Membuat Dangsil bersegi empat, dari pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun enau tua dirangkai dengan bambu, dihiasi daun enau tua, dibuat bertingkat yang melambangkan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa)
- Mengadakan upacara Ngusaba di pura yang terdapat di desa setempat
- Upacara Gedenin di pura Subak.
Upacara Ngedeblag
Tradisi upacara Ngedeblag hanya dilakukan di desa Pekraman Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Prosesi ini dirayakan di setiap Hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan sasih kelima dan sasih keenam (kalender Bali) yang digelar sekali dalam setahun, tujuannya untuk mengatisipasi perubahan musim yang akan datang sehingga terhindar dari segala bencana, seperti longsor, banjir maupun penyakit dan diberkahi keselamatan. Upacara ini dilakukan secara tutun temurun oleh warga Kemenuh.
Upacara ini tergolong unik, ratusan warga yang terdiri dari anak-anak, remaja dan dewasa, bergerombol dengan hiasan yang menyeramkan atau penampilan wajah yang dicoret-coret sepert komedian. Mereka berjalan keliling desa sambil membawa air suci (memundut tirta), dengan mengarak sepasang barong sakral, sambil membunyikan gamelan, kentongan, ataupun perabotan rumah tangga, daun pohon enau, untuk kemudian menggelar arak-arakan keliling desa. Setiap melewati ujung desa sepasang barong tersebut diupacarai.
Juga disetiap persimpangan jalan, para ibu menyambut kedatangan arak-arakan dengan sesajen, menghaturkan puja-puja untuk pembersihan alam, menetralisir roh-roh negatif. Karena mereka yakin dunia ini telah kotor oleh ulah manusia, sehingga perlu dibersihkan.
Ritual Agung Briyang
Ritual Agung Briyang di rayakan setiap 3 tahun sekali pada purnamaning sasih kedasa kalender Hindu Bali, perayaan ini hanya ada di desa tua Sidetapa Buleleng, lokasi desa ini sekitar 40 km barat laut kota Singaraja. Tujuan mengadakan upacara Agung Briyang adalah untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat. Peserta ritual ini adalah laki-laki warga Sidetapa yang menggunakan busana khas tradisional Bali terbaik. Tradisi unik unik ini masih turun-temurun oleh warga setempat, pernah suatu hari semestinya ritual ini harus dirayakan, tidak dilakukan maka terjadi banyak bencana yang terjadi.
Ritual Agung Briyang dilakukan di tengah halaman Pura Agung Candi, laki-laki berdiri di depan api, dan membersihkan aneka senjata yang mereka bawa seperti, keris, pedang, tombak, dll dan untuk mengusir dan melawan roh-roh jahat. Antusiasme warga sangat tinggi dalam mengukuti upacara ini yang tergolong langka, perempuan membawa persembahan yang warna-warni di atas kepala, ayah dan anak-anak membawa perlengkapan lain dalam prosesi ini, perayaan Agung Briyang atau juga disebut Karya Odalan ulang Ngerebeg candi tujuannya untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, menyambut para dewa, dan melawan roh-roh jahat
Sebelum puncak Agung Briyang dilaksanakan, warga desa melakukan prosesi melasti ke sungai yang ada di desa Sidetapa, melibatkan ratusan masyarakat, peserta menari dan ada sampai kerauhan (trans), dilanjutkan dengan ritual sesayutan untuk menyambut para Dewa. Dan sehari setelah ritual puncak dilaksanakan, warga laki-laki berburu kijang/ rusa untuk keperluan upacara berikutnya, berburu kijang dikawasan ini tidaklah mudah, karena semakin sempitnya lahan hutan yang sudah dijadikan lahan pemukiman penduduk, namun setiap akan diadakan ritual ini, pasti bisa ada saja rusa yang bisa ditemukan.